Kata siapa di Jakarta yang nota benenya yang kekurangan lahan terbuka hijaunya tidak ada yang membudidayakan pertanian? Lihat saja di beberapa wilayah Jakarta puluhan orang yang datang dari berbagai pelosok desa hidup dari pertanian yang memanfaatkan lahan tidur yang dimiliki Pemda DKI. Contoh lokasinya adalah Kodamar, Komplek TNI AL.
Lahan tidur yang kurang bermanfaat itu mereka garap sehingga menghasilkan sayur mayur yang disuplai ke pasar dan beberapa pihak yang membutuhkan. Perputaran uangnya cukup lumayan walau tidak bisa dibilang besar setidaknya bisa mencukupi kebutuhan para petani dan keluarganya yang membudidayakan lahan tidur tersebut. Pak Sutejo, 45 tahun, salah seorang petani mengatakan setiap bulannya rata-rata penghasilan para petani berkisar Rp.500.000-750.000. Untuk penghasilan tambahan dia mengatakan masih punya sawah di Kampung, setiap musim tanam padi akan pulang ke Indramyu mengurusi sawahnya selebihnya sehari-hari dia mengurusi kebun sayurnya di daerah perempatan Pramuka. Untuk daerah Pedongkelan para petani berasal dari Cirebon, Indramayu dan Ngawi.
Tidak semua berlatar belakang tani, seperti Sukimin, 30 tahun, pemuda asal Indramayu. Dia beralih menjadi petani setelah usaha dagangnya gulung tikar. Dari pada menganggur dan menjadi beban orang lain akhirnya dia geluti usaha tani ini. Yadi baru dua tahun bergabung dengan rekan-rekannya yang berasal dari daerah Ngawi, Jawa Timur. Yang lainya sepeti Pak Bejo sudah sepuluh tahun membudidayakan lahan tidur itu. Ada perjanjian antara mereka dengan pemilik tanah apabila tanah itu akan digunakan pemiliknya mereka dengan harus angkat kaki denagn sukarela dari tanah tersebut. Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Mereka hanya bisa menggelengkan kepala. Padahal banyak di antara mereka yang memboyong serta anak dan istrinya dari kampung halaman untuk menetap di tanah garapan itu.
Jenis sayuran yang ditanam di sana jenis sayuran lokal seperti kangkung, sawi hijau, daun selada, daun kenikir, daun kemangi dan bayam. Mereka menggunakan pupuk organik dan juga urea untuk tanamannya. Untuk pengairan mereka mengandalkan air tanah yang disedot dengan mesin pompa listrik. Air itu kemudian ditampung dikolam-kolam kecil yang tersebar di beberapa titik pada lahan pertanian itu. Dari kolam itu air diangkut dengan sebor, ember kaleng khusus untuk menyirami tanaman. Pengadaan air inilah yang menjadi pengeluaran terbesar mereka, karena untuk itu mereka harus membayar listrik yang mencapai Rp. 800.000/bulan. Untuk menutupi biaya listrik itu mereka berurunan.